Rabu, 22 Maret 2017

Model Pembelajaran Pemprosesan Informasi

A.    Model Memproses Informasi
            Menurut Oemar Hamalik (2011:128) pemrosesan informasi tersebut merujuk bagaimana cara-cara atau menerima informasi stimuli dari lingkungan, mengorganisasi data, memecahkan masalah, menemukan konsep-konsep, serta menggunakan simbol-simbol verbal dan non verbal. Kemudian menurut Syaiful Sagala (2012:74) informasi yang diberikan dalam bentuk energi fisik tertentu (sinar untuk bahan tertulis, bunyi untuk bahan ucapan, tekanan untuk sentuhan, dan lain-lain) diterima oleh reseptor yang peka terhadap tanda dalam bentuk-bentuk tertentu. Pada model ini, mengutamakan bagaimana membantu siswa agar mampu berpikir produktif, memecahkan masalah dengan kemampuan intelektual yang telah dimiliki oleh peserta didik.
            Model pemrosesan informasi pada dasarnya menitikberatkan pada cara-cara memperkuat dorongan-dorongan internal (datang dari dalam diri) untuk memahami dunia dengan cara menggali dan mengordinasikan data, merasakan adanya masalah dan mengupayakan jalan pemecahannya. Menurut Robert M. Gagne dalam Rusman (2014: 139) dalam proses pembelajaran model pemrosesan informasi terdiri dari delapan fase, yakni sebagai berikut:
1.     Motivasi, fase awal memulai pembelajaran dengan adanya dorongan untuk melakukan suatu tindakan dalam mencapai tujuan tertentu (motivasi instrinsik dan ekstrinsik);
2.     Pemahaman, fase individu menerima dan memahami informasi yang diperoleh dari pembelajaran. Pemahaman didapat melalui perhatian;
3.     Pemerolehan, individu memberikan makna/mempersepsikan segala informasi yang ada pada dirinya sehingga terjadi proses penyimpanan dalam memori peserta didik;
4.     Penahanan, menahan informasi yang sampai pada dirinya sehingga terjadi proses penyimpanan dalam memori siswa;
5.     Ingatan kembali, mengeluarkan kembali informasi yang telah disimpan, bila ada rangsangan;
6.     Generalisasi, menggunakan hasil pembelajaran untuk keperluan tertentu;
7.     Perlakuan, perwujudan perubahan perilaku individu sebagai hasil pembelajaran;
8.     Umpan balik, individu memperoleh feedback dari perilaku yang telah dilakukannya.
            Menurut Rusman (2014:140) pembelajaran pemrosesan informasi ada sembilan langkah yang harus diperhatikan oleh seorang pendidik, yakni sebagai berikut:
1.     Melakukan tindakan untuk menarik perhatian siswa;
2.     Memberikan informasi mengenai tujuan pembelajaran dan topik yang akan dibahas;
3.     Merangsang siswa untuk memulai aktivitas pembelajaran;
4.     Menyampaikan isi pembelajaran sesuai dengan topik yang telah direncanakan;
5.     Memberikan bimbingan bagi aktivitas siswa dalam pembelajaran;
6.     Memberikan penguatan pada perilaku pembelajaran;
7.     Memberikan feedback terhadap perilaku yang ditunjukkan siswa;
8.     Melaksanakan penilaian proses dan hasil;
9.     Memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya dan menjawab berdasarkan pengalamannya.
B.    Jenis-jenis Model Pemrosesan Informasi
1.   Model Berpikir Induktif
            Teoretiukus utama: Hilda Taba (1971). Model berpikir induktif (inductive thinking model) didasarkan pada asumsi awal bahwa setiap manusia, termasuk siswa, merupakan konseptor alamiah. Mereka selalu berusaha melakukan konseptualisasi setiap saat, membandingkan dan membedakan objek, kejadian, dan emosi. Untuk memanfaatkan kecenderungan ini, kita harus berusaha mendesain lingkungan pembelajaran efektif dan menugaskan siswa untuk meningkatkan efektivitas mereka dalam membentuk dan menggunakan konsep, sekaligus membantu mereka dalam mengembangkan keterampilan konseptual untuk menyelesaikan semua tugas ini.
a.      Sintak
Tahap 1 : Pembentukan konsep
1)     Guru mengkalkulasi dan membuat daftar
2)     Siswa mengelompokkan daftar
3)     Siswa membuat label dan kategori
Tahap 2 : Interprestasi data
1)     Siswa mengidentifikasi relasi-relasi penting antar kategori
2)     Siswa mengeksplorasi relasi-relasi kategorial
3)     Siswa membuat kesimpulan
Tahap 3 : Penerapan prinsip
1)     Siswa memprediksi konsekuensi, menjelaskan fenomena luar, menyusun hipotesis
2)     Siswa menjelaskan prediksi atau hipotesis
3)     Siswa menguji kebenaran (verifikasi) prediksi
b.     Sistem Sosial
Dalam model ini, atmosfer kelas bersifat kooperatif. Saat guru diposisikan sebagai inisiator pengajar dan penentuan rangkaian aktivitas pembelajaran, maka ia harus bertanggung jawab melakukan kontrol pada siswa secara kooperatif. Akan tetapi, karena siswa yang pada hakikatnya mempelajari strategi tersebut, mereka tentu akan berasumsi bahwa dirinyalah pengontrol yang sebenarnya.
c.      Tugas/Peran Guru
Tugas utama guru adalah memonitor bagaimana siswa memproses informasi dan kemudian mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan. Guru juga harus merasakan kesiapan siswa untuk menjalani pengalaman-pengalaman dan aktivitas-aktivitas kognitif yang baru dengan cara mengasimilasikan dan menggunakan pengalaman-pengalaman ini.
d.     Sistem Dukungan
Model ini dapat diterapkan dalam berbagai bidang kurikulum yang di dalamnya ada banyak data mentah yang perlu diolah. Contoh, dalam mengkaji aspek-aspek ekonomi berbagai negara, siswa memerlukan jumlah data ekonomi yang memadai tentang negara-negara tersebut dan statistik-statistik tentang peristiwa-peristiwa dunia. Kemudian tugas guru adalah membantu mereka memproses data tersebut dengan cara yang lebih kompleks, dan pada saat yang bersamaan membantu mereka meningkatkan kapasitas sistem dukungan itu saat memproses data.
e.      Pengaruh
Model ini terkadang dianggap hanya cocok untuk orang dewasa, padahal sebenarnya tidak. Siswa disemua tingkatan umur bisa memproses informasi dengan leluasa. Pola pikir yang baik selalu mengkombinasikan dua hal, yaitu disiplin dan fleksibilitas. Jika kita membantu siswa menjadi pemikir yang hebat dan fleksibel, kita harus menguasai paradox-paradox dan membuat lingkungan-lingkungan yang menawarkan tantangan dan dukungan yang kuat tanpa perlu memaksakan kemampuan siswa.
2.     Model Pencapaian Konsep
Teoretiukus utama: Jerome Brunner (1967). Pencapaian konsep (concept attainment) merupakan “proses mencari dan mendaftar sifat-sifat yang dapat digunakan untuk membedakan contoh-contoh yang tepat dengan contoh-contoh yang tidak tepat dari berbagai kategori (Brunner, Goodnow, dan Austin, 1967)”.
a.      Sintak
Tahap 1 : Penyajian data dan penyajian konsep
1)     Guru menyajikan contoh-contoh yang telah dilabeli
2)     Siswa membandingkan sifat-sifat/ciri-ciri pada contoh positif dan negatif
3)     Siswa menjelaskan definisi tertentu berdasarkan sifat-sifat/ciri-ciri yang paling penting
Tahap 2 : Ujian pencapaian konsep
1)     Siswa mengidentifikasi contoh-contoh tambahan yang tidak dilabeli dengan tanda “Ya” dan “Tidak”
2)     Guru menguji hipotesis, menamai konsep, dan menyatakan kembali definisi berdasarkan sifat-sifat/ciri-ciri yang paling esensial
3)     Siswa membuat contoh-contoh
Tahap 3 : Analisis strategi berpikir
1)     Siswa mendeskripsikan pemikiran
2)     Siswa mendiskusikan peran sifat-sifat dan hipotesis-hipotesis
3)     Siswa mendiskusikan jenis-jenis dan ragam hipotesis
b.     Sistem Sosial
Sebelum mengajar dengan model pencapaian konsep, guru memilih konsep, menyeleksi dan mengolah bahan menjadi contoh-contoh yang positif dan yang negatif dan mengurutkan/merangkai contoh-contoh tersebut. Dalam banyak kasus, guru harus mempersiapkan contoh-contoh, menggali ide-ide dan bahan-bahan dari buku dan sumber-sumber lain, dan merancangnya sedemikian rupa sehingga ciri-ciri menjadi jelas dan tentu saja, ada contoh-contoh negatif dan positif yang dibuat dari konsep tersebut.
c.      Tugas/Peran Guru
Selama proses pelajaran, guru harus bersikap simpatik pada hipotesis yang dibuat oleh siswa, menekankan bahwa hipotesis itu merupakan hipotesis alamiah dan membangun dialog yang didalamnya siswa dapat menguji hipotesis mereka dengan hipotesis teman-teman yang lain.
d.     Sistem Dukungan
Materi-materi yang berbasis pencapaian konsep mensyaratkan adanya sajian contoh-contoh negatif dan contoh-contoh positif pada siswa. Yang harus ditekankan adalah bahwa tugas siswa dalam pencapaian konsep bukanlah menemukan atau membuat konsep-konsep baru, melainkan mencapai atau mendapatkan konsep-konsep yang sebelumnya telah dipilih oleh guru. Untuk itulah, sumber data dari konsep-konsep tersebut perlu diketahui sebelumnya dan sifat-sifatnya juga harus terlihat dengan jelas.
e.      Pengaruh
Strategi-strategi pencapaian konsep dapat menyempurnakan tujuan-tujuan instruksional, bergantung pada tekanan pelajaran tertentu. Strategi-strategi ini dirancang untuk mengajarkan konsep-konsep yang spesifik dan sifat-sifat dari konsep-konsep itu. Strategi ini juga memungkinkan siswa untuk mempraktikkan logika induktif dan memberi mereka kesempatan untuk mengubah dan mengembangkan strategi-strategi membangun konsep yang telah dimiliki sebelumnya. Pada akhirnya, khusus pada konsep-konsep abstrak, strategi-strategi ini berusaha mendidik kesadaran siswa terhadap perspektif-perspektif alternatif, kepekaan siswa pada nalar logis dalam berkomunikasi, dan toleransi pada ambihuitas.
3.     Model Induktif Kata Bergambar
            Teoretiukus utama: Emily Calhoun (1999). Untuk menjadi pembaca ahli, siswa perlu didorong untuk banyak membaca, mengembangkan kosakata, mengembangkan keterampilan dalam analisis fonetik dan struktural, dan belajar memahami dan memanfaatkan teks-teks yang terhampar luas. Semua ini harus dilakukan oleh siswa saat mereka ingin belajar memahami bacaan lintas kurikulum, yang didalamnya penghimpunan, konseptualisasi, dan penerapan informasi merupakan inti pencapaian yang harus diperoleh siswa. Model induktif kata bergambar  (picture-word inductive model) dirancang untuk menghadapi tantangan itu, utamanya untuk para pembaca pemula ditingkatan dasar dan tingkatan yang lebih tinggi.
a.      Sintak
Tahap 1 : Pengenalan kata bergambar
1)     Guru memilih sebuah gambar
2)     Siswa mengidentifikasi apa yang mereka lihat dalam gambar tersebut
3)     Siswa menandai bagian-bagian gambar yang telah diidentifikasi tadi
Tahap 2 : Identifikasi kata bergambar
1)     Guru membaca/mereview bagian kata bergambar
2)     Siswa mengklasifikasi kata-kata ke dalam berbagai jenis kelompok
3)     Siswa mengidentifikasi konsep-konsep umum dalam kata-kata tersebut ke dalam kelas/golongan kata tertentu
4)     Siswa membaca kata-kata itu dengan merujuk pada bagian jika kata tersebut tidak mereka kenali
Tahap 3 : Review kata bergambar
1)     Guru membaca atau mereview bagian kata bergambar (mengucapkan, mengeja, dan mengucapkan)
2)     Guru menambah kata-kata jika diinginkan, pada bagian kata bergambar atau yang sering dikenal dengan “bank kata”
3)     Siswa memikirkan judul yang tepat untuk bagian kata bergambar tadi
Tahap 4 : Menyusun kata dan kalimat
1)     Siswa menyusun sebuah kalimat, atau suatu paragraf secara langsung yang berhubungan dengan bagian kata bergambar tadi
2)     Siswa mengklasifikasikan seperangkat kalimat yang dapat menghasilkan satu kategori kelompok tertentu
3)     Guru meragakan membuat kalimat-kalimat tersebut secara bersamaan menjadi suatu paragraf yang baik
4)     Guru dan siswa membaca/mereview kalimat-kalimat atau paragraf-paragraf
b.     Sistem Sosial
Model pengajaran ini dilakukan secara kooperatif. Guru bisa membentuk kelompok-kelompok kecil siswa untuk saling berbagi gagasan mengenai gambar-gambar yang disajikan. Ini juga bisa menjadi tugas yang mengasyikkan bagi siswa jika mereka berhasil mengidentifikasi, mengenali dan membuat kalimat berdasarkan kalimat itu.
c.      Tugas/Peran Guru
Guru memegang kunci dalam meningkatkan keterampilan baca tulis siswa. Semakin banyak kosakata yang diketahui siswa melalui pendengaran dan percakapan mereka, semakin banyak pemahaman yang mereka miliki tentang dunia disekitar mereka. Semakin banyak kata yang mereka pahami melalui pembacaan dan penulisan kosakata mereka, semakin banyak kontrol dan pilihan yang mereka miliki dalam hidup, baik di dalam maupun di luar sekolah, dengan akses yang luas pada pengetahuan dan pengalaman, serta dengan potensi yang besar dalam mengajari diri mereka sendiri. Semakin banyak pemahaman yang mereka miliki tentang bagaimana bahasa itu bekerja, semakin kuat mereka menjadi seorang komunikator dan warga negara yang baik.
d.     Sistem Dukungan
Setiap sesi putaran model induktif kata bergambar selalu menggunakan foto yang besar sebagai stimulus umum untuk penulisan kata dan kalimat.
e.      Pengaruh
            Model induktif kata bergambar memiliki pengaruh penting dalam membentuk kemampuan baca tulis siswa. Pengaruh-pengaruh itu bisa dilihat dari kemampuan siswa untuk:
1)     Belajar bagaimana membuat kosakata mereka;
2)     Belajar bagaimana meneliti struktur kata dan kalimat;
3)     Menghasilkan tulisan (judul, kalimat, dan paragraf);
4)     Menghasilkan pemahaman tentang hubungan membaca/menulis;
5)     Mengembangkan keterampilan dan analisis fonetik dan struktural;
6)     Mengembangkan minat dan kemampuan untuk berekspresi dengan cara menulis;
7)     Meningkatkan gairah membaca teks-teks nonfiksi;
8)     Mengembangkan keterampilan bekerja sama dalam belajar bersama orang lain dalam ranah membaca/menulis.
Sumber:
Huda, Miftahul. 2014. Model-model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Istarani. 2012. 58 Model Pembelajaran Inovatif. Medan: Media Persada.
Rusman. 2012. Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesional Guru. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Jumat, 10 Maret 2017

model pembelajaran perubahan perilaku



A.    Konsep Model Pembelajaran Modifikasi Tingkah Laku
Keluarga model-model tingkah laku ini penekanannya adalah atas usaha-usaha menciptakan sistem yang efesien bagi kegiatan-kegiatan pemebelajaran dan modifikasi (shaping) tingkah laku dengan manipulasi penguatan (reinforcement). Model modifikasi tingkah laku mengenal perubahan-perubahan tingkah laku lalu itu mengutamakan perubahan-perubahan eksternal tingkah laku peserta didik beserta deskripsinya berupa tingkah laku yang tampak. Kedalam keluarga model ini diwakili oleh model operant conditioning ( operant Conditioning Model). Model ini biasanya dipergunakan secara luas untuk mencapai bermacam tujuan. Dapat pula dipergunakan sebagai komplementer terhadap model-model lainnya. Dalam memilih berbagai model biasanaya guru menggunakan strategi modifikasi tingkah laku dengan tidak sengaja.
B.     Model-model sistem perilaku
Semua model dalam kelompok ini memiliki dasar teoritis yang sama, suatu body of knowledge yang merujuk pada teori behavioral. Model-model ini menenkankan pada upaya untuk mengubah perilaku yang tampak dari para siswa. Beberapa model yang termasuk dalam kategori ini antara lain:
1.      Model instruksi langsung
Instruksi langsung memainkan peran yang terbatas namun penting dalam program pendidikan yang komprehensif. Kritik terhadap instruksi langsung memperingatkan pada kita bahwa pendekatan ini seharusnya tidak digunakan setiap saat, untuk semua pendidikan atau untuk semua siswa. Bebrapa keunggulan terpenting dari instruksi langsung ini adalah adanya fokus akademik, arahan dan kontrol guru, harapan yang tinggi terhadap perkembangan siswa, sistem manajemen waktu, dan atmosfer akademik yang relatif stabil.
a.      Sintaks
Tahap 1: orientasi
1.        Guru menentukan materi pelajaran
2.        Guru meninjau pelajaran sebelumnya
3.        Guru menentukan tujuan pelajaran
4.        Guru menentukan prosedur pengajar
Tahap 2: Presentasi
1)        Guru menjelaskan konsep atau keterampilan baru
2)        Guru menyajikan representasi visual atas tugas yang diberikan
3)        Guru memastikan pemahaman
Tahap 3: praktik yang terstruktur
1.        Guru menuntun kelompok siswa dengan contoh praktik dalam beberapa langkah
2.        Siswa merespon pertanyaan
3.        Guru memberikan koreksi terhadap kesalahan dan memperkuat praktik yang telah benar
Tahap 4: praktik dibawah bimbingan
1)        Siswa berpraktik secara semi-independen
2)        Guru menggilir siswa untuk melakukan praktik dan mengamati praktik
3)        Guru memberikan tanggapan balik berupa pujian, bisikan, maupun petunjuk
Tahap 5: praktik mandiri
1.        Siswa melakukan praktik secara mandiri di rumah atau dikelas
2.        Guru menunda respon balik dan memberikannya di akhir rangkaian praktik
3.        Praktik mandiri dilakukan beberapa kali dalam periode waktu yang lama
b.      Sistem sosial
Sistem sosial dala model instruksi langsung ini benar-benar terstruktur
c.       Peran/ tugas guru
Tugas guru adalah menyediakan pengetahuan mengenai hasil-hasil, membantu siswa mengandalkan diri mereka sendiri, dan memberikan reinforcement. System dukungan mencakup rangkaian tugas pembelajaran, yang terkadang sama rumitnya dengan seperangkat materi yang dikembagkan sendiri oleh tim instruktur
d.      System dukungan
Lingkungan instruksi langsung adalah tempat dimana pembelajaran menjadi fokus utama dan tempat dimana siswa terlibat dalam tugas-tugas akademik dalam waktu tertentu untuk rating kesuksesan yang tinggi
e.       Pengaruh
Model ini sebagaimana namanya adalah bimbingan dan pemberian respon balik secara langsung. Model ini menuntun siswa untuk mendekati materi akademik secara sistematik. Rancangannya dibentuk untuk meningkatkan dan memelihara motivasi, melalui aktivitas pengendalian diri dan penguatan ingatan terhadap materi-materi yang telah dipelajari.
2.      Model simulasi
Simulasi pada hakikatnya di dasarkan pada prinsip sibernetik yang di hubungkan dengan komputer. Fokus utama dalam teori ini adalah munculnya kesamaan antara mekanisme kontrol timbal balik system elektronik dengan sistem-sistem manusia. Dengan simulasi, tugas pembelajaran dapat di rancang sedemikian rupa agar tidak begitu rumit daripada tampak di dunia nyata, sehingga siswa bisa dengan mudah dan cepat menguasai skill yang tentu saja akan sangat sulit ketika mereka mencoba menguasai di dunia nyata.
a. Sintaks
Tahap 1: orientasi
1.        Guru menyajikan topik mengenai simulasi dan konsep yang akan dipakai dalam aktivitas simulasi
2.        Guru menjelaskan simulasi dan permainan
3.        Guru menyajikan ikhtiar simulasi
Tahap 2: latihan partisipasi
1)        Guru membuat skenario (aturan, peran, prosedur, skor, tipe keputusan yang akan dipilih dan tujuan)
2)        Guru menugaskan peran simulasi kepada siswa
3)        Siswa melaksanakan praktik dalam jangka waktu yang singkat
Tahap 3: pelaksanaan simulasi
1.        Guru memimpin aktivitas permainana dan administrasi permainan
2.        Siswa mendapat umpan balik dan evaluasi (mengenai penampilan dan pengaruh keputusan)
3.        Guru menjelaskan kesalahan konsepsi
4.        Siswa menlanjutkan simulasi
Tahap 4: wawancara siswa
1)        Guru menyimpulkan kejadian dan persepsi
2)        Siswa menyimpulkan kesulitan dan pandangan-pandangannya
3)        Guru dan siswa menganalisis proses
4)        Guru dan siswa membandingkan aktivitas simulasi dengan dunia nyata
5)        Siswa menghubungkan aktivitas simulasi dengan materi pelajaran
6)        Guru menilai dan kembali merancang simulasi
b.  System sosial
System sosial adalah simulasi yang tentu saja sangat kental. Namun, dalam sistem yang terstruktur, lingkungan pembelajaran dengan interaksi kooperatif bisa, dan seharusnya berkembang. Kesuksesan terakir dalam simulasi sebenarnya juga di tentukan oleh kerja sama dan kemauan untuk berpartisipasi dalam diri siswa.
c. Peran/ tugas guru
Peran guru tidak jauh berbeda dengan fasilitator. Selama proses simulasi ia harus menunjukkan sikap yang tidak evaluatif namun tetap suportif. Disini guru bertugas menyajikan, lalu memfasilitasi pemahaman dan penafsiran tentang aturan-aturan simulasi.
d.  Sistem pendukung
Ada banyak sumber dalam hal ini. Misalnya saja, social science education consortium data book yang menyajikan lebih dari lima puluh simulasi yang cocok digunakan dalam studi sosial. Aktivitas-aktivitas simulasi juga direview secara regular dalam jurnal social education.


e. Pengaruh
Model simulasi malalui aktivitas nyata dan diskusi di awal kegiatan dapat menuntun pada pencapaian hasil-hasil akademik seperti konsep dan skill, kerjasama dan persaingan, pemikiran kritis dan pembuatan keputusan, pengetahuan sistem politik, sosial, dan ekonomi, efektifitas, kesadaran terhadap masing-masing peran dan menerima konsekuensi yang dilakukan.
3.      Operant Conditioning (Operant Conditioning Model)
Pengetahuan tentang operant conditioning model ini berasal dari ilmuwan B.F Skinner dari hasil penleitian yang menunjukkan bahwa melalui hubungan antara tindakan tindakan dengan konsekuensinya, kita belajar berprilaku dengan cara-cara tertentu. Model ini merupakan proses pembelajaran melalui rewards dan punishmant, atau disebut juga instrumental conditioning, yakni perilaku kita biasanya menghasilkan konsekuensi. Jika aktivitas yang kita lakukan berdampak menyenangkan  (positif), maka dimasa yang akan datang kita cenderung untuk tdak mengulangnya. Gejala ini disebut sebagai the law of effect yang sangat fundamental bagi operant conditioning.
a.       Sintaks
Fase I : Perhatian (attention)
Fase II : Penguasaan (retention)
Fase III: Penciptaan Kembali Perilaku (behavioral reproduction)
Fase IV : Motivasi (Motivation)
b.       Prinsip Reaksi
a)      Guru memberi model sebagaa petunjuk kepada peserta didik bagaimana aktivitas yang efektif
b)      Peserta didik melakukan aktivitas berdasarkan model (meniru) yang diberikan
c)      Guru memberi motivasi dan penghargaan
c.    Sistem Sosial
a)      Punishment merupakan penetapan konsekuensi negatif atas perilaku yang tidak diinginkan. Punishment ditetapkan agar perilaku tersebut tidak dilakukan.
b)      Extinction merupakan satu proses penghilangan perilaku yang semula diharapakan untuk dilakukan. Extinction dlakukan dengan cara tidak lagi memberikan konsekuensi atas perilaku yang semula diinginkan tersebut atau dengan cara mengehntikan konsekuensi positif atas perilaku yang di hilangkan.
d.      Sistem Pendukung
Sistem pendukungnya terutama terletak pada kompetensi guru mengenal karakteristik peserta didk, khususnya kondisi mental dan kejiwaan peserta didik.
C.    Karakteristik Modifikasi Perilaku
1.      Fokus pada perilaku (focuses on behavior)
Fokus pada perilaku artinya menempatkan penekanan pada perilaku yang dapat diukur berdasarkan atas dimensi-dimensinya, seperti frekuensi, durasi, dan intensitasnya. Karena itu metode modifikasi perilaku selalu mengamati dan mengukur setiap tahap perubahan sebagai indikator dari berhasil atau tidaknya program bantuan yang diberikan. Dalam modifikasi perilaku, akan menghindari label-label interpretatif dan sistem diagnostik (avoid interpretive labels and diagnostic systems), serta fokus pada perilaku yang berkekurangan atau yang berlebihan (focus on behavioral deficits or behavioral excess). Dalam modifikasi perilaku, mengkategorikan apakah suatu perilaku sebagai berlebihan atau kekurangan merupakan langkah yang mutlak, sehingga dapat dipahami secara pasti mana perilaku yang termasuk excesses atau berlebihan dan akan dikurangi atau yang termasuk deficit atau berkekurangan dan akan ditingkatkan.  
Modifikasi perilaku berfokus pada perilaku yang harus diubah. Seseorang yang perilakunya harus mendapatkan teknik modifikasi  perilaku adalah menunjukkan perilaku yang berbeda dari yang diharapkan di sekolah atau masyarakat dan  membutuhkan perbaikan.
Ada dua bentuk target perilaku dalam modifikasi perilaku:
a.       Behavioral exceses adalah perilaku target yang negatif (tidak layak) yang ingin dikurangi frekuensi, durasi, atau intensitasnya, contohnya: perilaku merokok.
b.      Behavioral deficit adalah aladah target perilaku yang positif (lanyak) yang ingin ditingkatkan frekuensi, durasi, atau intensitasnya, contohnya: perilaku gemar membaca.
2.      Menekankan pengaruh belajar dan lingkungan (emphasizes influences of learning and the environment)
Modifikasi perilaku juga menekankan pengaruh belajar dan lingkungan, artinya bahwa prosedur dan teknik tritmen menekankan pada modifikasi lingkungan tempat dimana individu tersebut berada, sehingga membantunya dalam berfungsi secara lebih baik dalam masyarakat. Lingkungan tersebut dapat berupa orang, objek, peristiwa, atau situasi yang secara langsung maupun tidak langsung berdampak terhadap kehidupan seseorang.
3.      Mengikuti pendekatan ilmiah (takes a scientific approach)
Mengikuti pendekatan ilmiah artinya bahwa penerapan modifikasi perilaku memakai prinsip-prinsip dalam psikologi belajar, dengan penempatan orang, objek, situasi, atau peristiwa sebagai stimulus, serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
4.      Menggunakan metode-metode aktif dan pragmatik untuk mengubah perilaku (uses pragmatic and active methods to change behavior)
Menggunakan metode-metode aktif dan pragmatik untuk mengubah perilaku maksudnya bahwa dalam modifikasi perilaku lebih mengutamakan aplikasi dari metode atau teknik-teknik yang telah dikembangkan dan mudah untuk diterapkan.
D.    Prinsip-Prinsip Dalam Modifikasi Perilaku
1)      Kebanyakan tingkah laku manusia adalah hasil belajarnya, karena itu dapat diubah dengan belajar.
2)      Target tingkah laku yang mudah diubah adalah tingkah laku yang dapat diamati dan dapat diukur. Tingkah laku itu perlu dirinci dengan jelas indikatornya
3)      Tingkah laku dapat diubah dengan memanipulasi kondisi belajar.
4)      Meskipun ada keterbatasan tertentu (pengaruh temperamen atau emosional), semua anak berfungsi lebih efektif , jika mengalami konsekuensi yang tepat.
1.      Reinforcement merupakan konsekuensi yang memperkuat tingkah laku yang diinginkan.
2.      Hukuman merupakan konsekuensi yg melemahkan tingkah laku yg tidak diinginkan.
5)      Tingkah laku seseorang dapat diatur, diubah dengan memberikan konsekuensi terhadap tingkah laku orang itu sendiri.
E.     Teknik Modifikasi Tingkah Laku
      Pendekatan pengubahan tingkah laku didasarkan pada teori yang mantap, yaitu prinsip – prinsip psikologi behavioral. Pada dasarnya bahwa semua tingkah laku itu dipelajari, baik tingkah laku yang di sukai maupun tingkah laku yang tidak disukai. Seorang melakukan tindakan menyimpang tersebut karena satu atau dua alasan, yaitu telah mempelajari tingkah laku yang menyimpang itu, atau belum mempelajari tingkah laku yang sebaiknya. Teknik-teknik pengubahan perilaku antara lain
1.      Penguatan positif
Penguatan positif berupa memberikan stimulus positif, berupa ganjaran atau pujian terhadap perilaku atau hasil yang memang diharapkan, misalnya berupa ungkapan seperti “Nah seperti ini kalau mengerjakan tugas, tulisannya rapi mudah dibaca”.
Jenis-jenis penguatan positif itu ada yang:
1)      Penguatan primer (dasar) yaitu penguatan-penguatan yang tidak dipelajari dan selalu diperlukan untuk berlangsungnya hidup, seperti, makanan, air, udara yang segar dan sebagainya. Suasana seperti ini dapat membentuk perilaku siswa yang baik dan betah di dalam kelas
2)      Penguatan sekunder (bersyarat) yang menjadi penguat sebagai hasil proses belajar atau dipelajari, seperti diperhatikan, pujian (penguat sosial), nilai angka, rangking (penguatan simbolik), kegiatan atau permainan yang disenangi siswa (penguatan bentuk kegiatan).
2.      Penghukuman
Penghukuman merupakan pemberian stimulus yang tidak menyenangkan untuk menghilangkan dengan segera perilaku peserta didik yang tidak dikehendaki. Tindakan hukuman dalam pergelolaan kelas masih bersifat kontroversial (dipertentangkan). Sebagian menganggap bahwa hukuman merupakan alat yang efektif untuk dengan segera menghentikan tingkah laku yang tidak dikehendaki, sekaligus merupakan contoh “yang tidak dikehendaki” bagi siswa lain. Sebagian lain melihat bahwa akibat sampingan dari hubungan pribadi antara guru (yang menghukum) dan siswa (terhukum) menjadi terganggu, atau siswa yang dihukum menjadi “Pahlawan” di mata teman-temannya.
Pendekatan penghukuman ini dianggap bermanfaat bila untuk segera menghentikan, menghilangkan penampilan tingkah laku yang tak disukai untuk segera dan sambil melaksanakan sistem penguatan yang tepat bagi kelayakan penampilan perilaku tertentu yang disukai.
3.      Penguatan Negatif
Penguatan negative adalah berupa peniadaan tingkah laku yang tidak disukai (biasanya berupa hukuman) yang selalu diberikan, karena seseorang yang bersangkutan telah meninggalkan tingkah laku yang menyimpang. Dengan demikian diharapkan tingkah laku seseorang yang lebih baik itu akan ditingkatkan frekuensinya.
Ada beberapa hal yang perlu memperoleh perhatian dalam mengimplementasikan pendekatan modifikasi perilaku teknik penguatan negative yaitu hindari pemberian stimulus yang menyakitkan, berikan stimulus secara bervariasi, berikan penguatan dengan segera, sasarannya jelas dan keantusiasan.
4.      Penghilangan
Penghilangan adalah upaya mengubah perilaku seseorang dengan cara menghentikan pemberian respon terhadap suatu perilaku peserta didik yang semula dilakukan dengan respon tersebut. Pengilangan ini menghasilkan penurunan frekuensi tingkah laku yang semula mendapat penguatan.
5.      Penundaan
Penundaan merupaan tindakan tidak jadi memberikan ganjaran atau pengecualian pemberian ganjaran untuk orang-orang tertentu. Penundaan seperti ini menurunkan frekuensi penguatan dan menurunkan frekuensi tingkah laku yang dimaksud itu.
F.     Teori-Teori Belajar Dalam Aliran Behaviorisme
1.      Ivan Petrovich Pavlov
Ivan Petrovich Pavlo atau lebih dikenal dengan nama singkat Pavlov, adalah seorang lulusan sekolah kependetaan dan melanjutkan belajar ilmu kedokteran di Militery Medical Acadeny, St. Petersburg. Pada tahun 1879, ia mendapatkan gelar ahli ilmu pengetahuan alam.
Ivan Pavlov melakukan eksperimen terhadap anjing, Pavlov melihat selama penelitian ada perubahan dalam waktu dan rata-rata keluarnya air liur pada anjing (salivation). Pavlov mengamati, jika daging diletakkan dekat mulut anjing yang lapar, anjing akan mengeluarkan air liur. Hal ini terjadi karena daging telah menyebabkan rangsangan pada anjing, sehingga secara otomatis ia mengeluarkan air liur. Walau pun tanpa latihan atau dikondisikan sebelumnya, anjing pasti akan mengeluarkan air liur jika dihadapkan pada daging. Dalm percobaan ini, daging disebut dengan stimulus yang tidak dikondisikan (unconditionied stimulus). Dan karena salvia itu terjadi secara otomatis pada saat daging diletakkan di dekat anjing tanpa latihan atau pengkondisian, maka keluarnya salvia pada anjing tersebut dinamakan sebagai respon yang tidak dikondisikan (unresponse conditioning).
Kalau daging dapat menimbulkan salvia pada anjing tanpa latihan atau pengalaman sebelumnya, maka stimulus lain, seperti bel, tidak dapat menghasilkan selvia. Karena stimulus tersebut tidak menghasilkan respon, maka stimulus (bel) tersebut disebut dengan stimulus netral (neutral stimulus). Menurut eksperimen Palvo, jika stimulus netral (bel) dipasngkan dengan daging dan dilakukan secara berulang, maka stimulus netral akan berubah menjadi stimulus yang dikondisikan (conditioning stimulus) dan memiliki kekuatan yang sama untuk mengarahkan respon anjing seperti ketika ia melihat daging. Oleh karena itu, bunyi bel sendiri akan dapat menyebabkan anjing akan mengeluarkan selvia. Proses ini dinamakan classical conditioning.
Bila ditelusuri, Pavlov yang pada saat ini meneliti anjingnya sendiri, melihat bahwa bubuk daging membuat seekor anjing mengeluarkan air liur. Maka yang dilakukan pavlvo adalah sebelum memberikan bubuk daging itu ada membunyikan bel terlebih dahulu. Setelah dilakukan beberapa kali pengulangan, maka anjing itu akan mengeluarkan air liurnya setelah mendengar bel berbunyi, meski tidak diberikan daging lagi. Dari percobaan yang dilakukan oleh Pavlov, dapat disimpulkan bahwa:
a.       Anjing belajar dari kebiasaan.
b.      Dengan pengulangan bunyi bel sehingga mengeluarkan air liur.
c.       Bunyi bel merupakan stimulus yang akhirnya akan menghasilkan respon bersyarat.
d.      Bunyi bel yang pada mulanya netral tetapi setelah disertai mediasi berupa bubuk daging, lama-kelamaan berubah menjadi daya yang mampu membangkitkan respon.
Berdasarkan hasil eksperimen itu Pavlov menyimpulkan bahwa hasil eksperimennya juga dapat diterapkan pada manusia untuk belajar. Impilkasi hasil eksperimen tersebut pada belajar manusia adalah:
a)      Belajar adalah membentuk asosiasi antara stimulus respon secara selektif.
b)      Proses belajar akan berlangsung apabila diberi stimulus bersyarat.
c)      Prinsip belajar pada dasarnya merupakan untaian stimulus-respon.
d)     Menyangkal adanya kemampuan bawaan.
e)      Adanya clasical conditioning.
Eksperimen Pavlov tersebut kemudian dikembangkan oleh pengikutnya yaitu BF. Skinner (1933) dan hasilnya dipublikasikan dengan judul Behavior Organism. Prinsip-prinsip kondisioning klasik ini dapat diterapkan di dalam kelas. Woolfolk dalam Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni (2007), menyatakan sebagai berikut:
a.       Memberikan suasana yang menyenangkan ketika memberikan tugas-tugas belajar, misalnya menekankan kepada kerja sama, dan kompitisi antar kelompok individu. Membuat kegiatan membaca menjadi menyenangkan dengan menciptakan ruang baca yang nyaman dan enak serta menarik dan lain sebagainya.
b.      Membantu siswa mengatasi secara bebas dan sukses situasi-situasi yang mencemaskan atau menekan, misalnya: mendorong siswa yang pemalu untuk mengajarkan siswa lain cara memahami materi pelajaran, membuat tahap jangka pendek untuk mencapai tujuan jangka panjang, misalnya dengan memberikan tes harian, mingguan, agar siswa dapat menyimpan apa yang dipelajari dengan baik.
c.       Membantu siswa untuk mengenal perbedaan dan persamaan terhadap situasi-situasi sehingga mereka dapat membedakan dan menggeneralisasikan secara tepat. Misalnya, meyakinkan siswa yang cemas ketika menghadapi ujian masuk sekolah yang lebih tinggi tingkatannya atau perguruan tiggi, bahwa tes tersebut sama dengan tes-tes akademik lainnya yang pernah mereka lakukan.
2.      Edward LeeThorndike
Edward Lee Thorndike adalah seorang pendidik dan sekaligus psikolog berkebangsaan Amerika. Edward awalnya melakukan penelitian tentang prilaku binatang sebelum tertarik pada psikologi manusia. Dan pertama kali mengadakan eksperimen hubungan stimulus dan respon dengan hewan kucing melalui prosedur yang sistematis. Ekseperimennya yaitu: Kucing yang lapar dimasukkan ke dalam kotak kerangkeng (puzzle box) yang dilengkapi pembuka bila disentuh. Di luar diletakkan daging. Kucing dalam kerangkang bergerak kesana kemari mencari jalan keluar, tetapi gagal. Kucing terus melakukan usaha dan gagal, keadaan ini berlangsung terus-menerus. Tak lama kemudian kucing tanpa sengaja menekan tombol sehingga tanpa sengaja pintu kotak kerangkeng terbuka dan kucing dapat memakan daging di depannya.
Percobaan Thorndike tersebut diulang-ulang dan pola gerakan kucing sama saja namun makin lama kucing dapat membuka pintunya. Gerakan usahanya makin sedikit dan efisien. Pada kucing tadi terlihat ada kemajuan-kemajuan tingkah lakunya. Dan akhirnya kucing dimasukkan dalam box terus dpat menyentuh tombol pembuka (sekali usaha, sekali terbuka), hingga pintu terbuka.
Thorndike menyatakan bahwa prilaku belajar manusia ditentukan oleh stimulus yang ada di lingkungan sehingga menimbulkan respon secara refleks. Stimulus yang terjadi setelah sebuah prilaku terjadi akan mempengaruhi prilaku selanjutnya. Dari eksperimen ini Thorndike telah mengembangkan hukum Law Effect. Ini berarti jika sebuah tindakan diikuti oleh sebuah perubahan yang memuskan dalam lingkungan, maka kemungkinan tindakan itu akan diulang kembali akan semakin meningkat. Sebaliknya jika sebuah tindakan diikuti oleh perubahan yang tidak memuaskan, maka tindakan itu menurun atau tidak dilakukan sama sekali. Dengan kata lain, konsekuen-konsekuen dari prilaku sesorang akan memainkan peran penting bagi terjadinya prilaku-prilaku yang akan datang.
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan dan tindakan. Dari definisi belajar tersebut maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat brwujud kongkrit yaitu yang dapat diamati, atau yang tidak kongkrit yaitu yang tidak dapat diamati.
3.      Burrhus Frederic Skinner
Skinner dilahirkan pada 20 Mei 1904 di Susquehanna Pennylvania, Amerika Serikat. Masa kanak-kanaknya dilalui dengan kehidupan yang penuh dengan kehangatan namun, cukup ketat dan disiplin.meraih sarjana muda di Hamilton Colladge, New York, dalam bidang sastra Inggris. Pada tahun 1928, Skinner mulai memasuki kuliah psikologi di Universitas Harvard dengan mengkhususkan diri pada bidang tingkah laku hewan dan meraih doktor pada tahun 1931.
Dari tahun 1931 hingga1936, Skinner bekerja di Harvard. Penelitian yang dilakukannya difokuskan pada penelitian menegenai sistem syaraf hewan. Pada tahun 1936 sampai 1945, Skinner meneliti karirnya sebagai tenaga pengajar  pada universitas Mingoesta. Dalam karirnya Skinner menunjukkan produktivitasnya yang tinggi sehingga ia dikukuhkan sebagai pemimpin Brhaviorisme yang terkemuka di Amerika Serikat.
Skinner merupakan seorang tokoh behavioris yang meyakini bahwa perilaku individu dikontrol melalui proses operant conditioning dimana seseorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan yang relatif besar.
Menagement kelas menurut skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku antara lain dengan proses penguatan yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yang tidak tepat. Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant (penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.
Teori belajar behaviorisme ini telah lama dianut oleh para guru dan pendidik, namun dari semua pendukuung teori ini, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar Behaviorisme. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat  merupakan program-program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh skinner
Menurut skinner – berdasarkan percobaanya terhadap tikus dan burung merpati – unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan. Maksudnya adalah penguatan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan ( penguatan positif dan penguatan negatif).
Bentuk penguatan positif berupa hadiah, perilaku, atau penghargaan. Sedangkan bentuk penguatan negatif adalah antara lain menunda atau tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan, atau menunjukkan perilaku tidak senang.
Skinner tidak sependapat pada asumsi yang dikemukakan Guthrie bahwa hukuman memegang peranan penting dalam proses pelajar. Hal tersebut dikarenakan menurut skinner :
a.       Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
b.      Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
c.       Hukuman mendorong si terhukum mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar  ia terbebas dari hukuman.
d.      Hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk dari pada kesalahan pertama yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang akan muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seseorang siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukumannya harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu yang tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahnnya, maka inilah yang disebut penganut negatif. Lawan dari penganut negatif adalah penguat positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah bahwa penguat positif itu ditambah, sedangkan penganut negatif adalah dikurangi untuk memperkuat respon.
SUMBER


Sarbaini. Model Mengajar Berbasis Kognitif dan Moral. (Yogyakarta: Aswijaya Pressindo, 2011). H. 39.
Sardiman. Interaksi  dan Motivasi Belajar Mengajar. (Jakarta:  PT Raja Grafindo Persada, 2011). h. 47.
Wina Sanjaya. Strategi Pembelajaran Beriorentasi Standar Proses Pendidikan. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006).  H. 94.
Abdul Azis Wahab. Metode dan Model-Model Mengajar. (Bandung:  Alfabeta. 2012). H. 52
Agus Suprijono. Cooperative Learning. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011). H. 17.
M. Sukarjo dan Ukim Komarudin. Landasan Pendidikan. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012) H.34.
Zalyana. Psikologi Pembelajaran Bahasa Arab. (Pekanbaru: Almujtahadah Press, 2010) H. 106-107.
Ibid, 110-111.
Mark K. Smith, dkk. Teori Pembelajaran dan Pengajaran. (Jogjakarta: Mirza Media Pustaka, 2010) H 75.
Zalyana. Psikologi Pembelajaran Bahasa Arab. H 113-114.
C. Asri Budiningsih. Belajar dan Pembelajaran. (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005) H. 21.
Zalyana, Psikologi Pembelajaran Bahasa Arab. H 115.
C. Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran. H. 24.
Ibid, hlm.25-26
Zalyana, Psikologi Pembelajaran Bahasa Arab. H 127-128